Jumlah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai ribuan. Ada yang berpendapat bahwa jumlah mereka sekitar belasan ribu, karena ketika terjadi peristiwa penaklukan kota Makkah pada tahun 8 H saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa serta 10.000 pasukan. Ada pula yang memperkirakan jumlah mereka sekitar 114.000 orang, berdasarkan jumlah jamaah haji yang hadir pada waktu terjadi haji wada’, haji perpisahan yang dilakukan Rasulullah pada tahun 10 H.
Dari jumlah yang ribuan itu, tidak setiap sahabat Rasulullah didatangi oleh para tabi’in dalam rangka mempelajari Islam. Hanya sebagian yang mereka temui, karena faktor waktu dan tempat serta keterbatasan masing-masing mereka.
Banyak pula di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang menolak untuk memberikan fatwa tentang permasalahan agama dan cenderung merekomendasikan urusan itu kepada sahabat-sahabat Rasulullah yang lain. Di antara mereka pun, banyak yang lebih memilih untuk bertanya kepada sahabat-sahabat Rasulullah lainnya tentang suatu masalah pribadi ketimbang memutuskan sendiri. Kecenderungan seperti ini, bahkan, dapat dikatakan menjadi gejala yang umum di tengah mereka.
Karena itu, para tabi’in mendapatkan jawaban-jawaban yang banyak tentang permasalahan agama dari sahabat-sahabat Rasulullah tertentu saja. Kata Masruq bin Al-Ajda’, salah seorang mukhadhram (orang-orang yang hidup semasa dengan Rasulullah tetapi belum sempat bertemu dengan beliau), mereka yang dimaksud itu seperti Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit. ‘Amir bin Syarahil Asy-Sya’bi, salah seorang tabi’in dari thabaqah al-wustha, menambahkan Abu Musa Al-Asy’ari ke dalam daftar itu.
Penugasan-penugasan dari khalifah membuat sejumlah sahabat Rasulullah yang lain harus berdiam dan menghabiskan umur-umur mereka di beberapa daerah taklukan yang jauh dari Madinah. Di tempat-tempat tugas itulah, mereka menjadi rujukan dalam permasalahan agama. Masing-masing mereka dimintai fatwa tentang satu-dua hal atau diminta menerangkan fikih-fikih ibadah tertentu.
Mereka pun didatangi oleh para tabi’in di tempat itu. Keadaan tersebut pada akhirnya memaksa sejumlah orang dari sahabat Rasulullah itu menjadi semacam guru-guru yang ajarannya dipegang oleh para murid di tempat masing-masing.
Adalah Abdullah bin Mas’ud di Kufah, Zaid bin Tsabit di Madinah, dan Abdullah bin Abbas di Makkah yang menjadi segelintir sahabat Rasulullah yang paling banyak dimintai fatwa dan diambil ilmu mereka oleh para tabi’in di masing-masing tempat. Abdullah bin Mas’ud sudah dikenal kapasitas ilmunya sejak Rasulullah masih hidup. Khusus Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mereka menjadi rujukan para tabi’in di masing-masing tempat ketika banyak sahabat Rasulullah telah meninggal-dunia.
Abdullah bin Mas’ud memiliki beberapa orang murid. Mereka adalah Alqamah bin Qais, ‘Abidah As-Salmani, Al-Aswad bin Yazid, Al-Harits bin Qais, Masruq bin Al-Ajda’, dan Amr bin Syarahbil.
Kepada beberapa orang dari mereka kemudian, Ibrahim An-Nakhai mempelajari agama sampai dikenal sebagai tabi’in yang paling mirip dengan Abdullah bin Mas’ud. Ibrahim An-Nakhai mengajarkan ilmu agamanya kepada Al-A’masy dan Abu Ishaq As-Sabi’i.
Mereka semua dikenal sebagai tabi’in-tabi’in pewaris ilmu Abdullah bin Mas’ud, para ulama kota Kufah. Kepada Al-A’masy dan Abu Ishaq As-Sabi’i, generasi tabi’ut tabi’in mengambil ilmu itu kembali. Di antara mereka yang patut disebut di sini adalah Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri dan Yahya bin Sa’id Al-Qaththan.
Pola yang sama juga berlaku pada Zaid bin Tsabit. Pada masanya, Zaid bin Tsabit memiliki banyak murid tabi’in yang mempelajari Islam darinya. Di antara mereka adalah Sa’id bin Musayyib, Urwah bin Az-Zubair bin Al-Awwam, Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf, Sulaiman bin Yasar Maula Maimunah, Kharijah anak Zaid bin Tsabit, Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah bin Mas’ud, Abu Bakar bin Abdirrahman, Thalhah bin Abdillah bin Amr, Aban bin Utsman bin Affan, Nafi’ bin Jubair bin Muth’im, Qabishah bin Dzu’aib, Salim bin Abdillah bin Umar.
Kepada murid-murid Zaid bin Tsabit, belajar tabi’in-tabi’in lain, seperti Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhri, Abu Zinad, Yahya bin Sa’id, Bukair bin Abdillah bin Al-Asyaj. Mereka inilah yang akan menjadi rujukan juga bagi generasi-generasi tabi’ut tabi’in seperti Malik bin Anas kemudian Abdurrahman bin Mahdi.
Abdullah bin Abbas, seorang sahabat yang pernah didoakan Rasulullah agar menjadi penafsir Al-Qur’an, menjadi tempat bertanya bagi para tabi’in. Pernah berdiam di Makkah, Abdullah bin Abbas memiliki banyak murid yang kelak dikenal sebagai para penafsir Al-Qur’an. Di antara murid-murid terkemukanya adalah Atha’ bin Abi Rabbah, Thawus, Mujahid bin Jabr, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Jabir bin Zaid.
Dari generasi tabi’ut tabi’in, Amr bin Dinar mewarisi pengetahuan mereka sampai kemudian dikenal sebagai orang yang paling berilmu tentang “fikih” Ibnu Abbas dan murid-muridnya. Kepada Amr bin Dinar itulah, Sufyan bin Uyainah kemudian bermajelis selama dua puluh tahun.
Demikian pula dengan Ibnu Juraij, meski diragukan pernah bertemu dengan Abdullah bin Abbas, tetapi sebagai seorang pewaris “fikih” Abdullah bin Abbas ia diakui banyak orang. Bahkan, beberapa orang murid Ibnu Abbas seperti Thawus dan Mujahid rela bermajelis dengan Ibnu Juraij. Mereka berdua mengambil beberapa riwayat hadits darinya, sebagai bentuk kerendahan hati mereka.
Rimbun Natamarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar