Lalu, apa ada hubungannya dengan geologi sehingga saya menulisnya ? Mungkin ada. Kerajaan-kerajaan pendahulu Tarumanegara ini ada saat Sumatra masih bersatu dengan Sunda melalui jembatan darat yang melintasi gunung Krakatau. Sebuah peta kuno yang sumbernya tak jelas tetapi tercantum di dalam buku Daldjoeni (1992) : “Geografi Kesejarahan” menggambarkan ada semacam jembatan darat antara Sunda dan Sumatra. Dari peta itu, tak ada Selat Sunda, tetapi Teluk Sunda ada, yaitu bagian Laut Jawa yang menjorok ke dalam antara Lampung dan Banten Sekarang – sementara Lampung dan Banten masih daratan.
Van Bemmelen (1952) dalam “De Geologische Geschiedenis van Indonesie” menulis di halaman 127 bahwa Selat Sunda sebelum tahun 1175 tak pernah diberitakan dapat dilewati kapal laut karena kondisinya belum memungkinkan. Gunung Krakatau belum merupakan pulau kecil seperti sekarang. Pulau-pulau besar kecil masih banyak berserakan di Selat Sunda. Sumatra dan Jawa masih bergandeng menjadi satu. Perbatasan antara Swarnadwipa (Sumatra) dan Jawadwipa (Jawa) pada masa itu masih berupa suatu teluk yang menjorok jauh ke pedalaman di daerah Jambi. Demikian menurut catatan para pelaut Arab dan Cina (van Bemmelen, 1952, hal. 126-127).
Kondisi geografi ini nanti akan berpengaruh kepada seputar polemik para ahli sejarah tentang pusat Kerajaan Sriwijaya yang bercorak maritim apakah di Palembang atau di Jambi. Kerajaan Salakanagara meliputi Teluk Sunda (nantinya akan menjadi Selat Sunda), pulau-pulau di sekitarnya, dan Jawa Barat bagian barat. Rajanya yang pertama bernama Dewawarman I (130-168 M) yang berasal dari India. Sejumlah arca Syiwa dan Ganesha pernah ditemukan di Pulau Panaitan, Selat Sunda, itu adalah peninggalan2 Salakanagara.
Kerajaan Jayasinghapura (mulai tahun 340 M) adalah penerus Salakanagara dan diperkirakan beribu kota di kota Jasinga sekarang di sebelah barat Bogor. Rajanya yang terkenal adalah Dewawarman VIII (358-382). Tak diketahui banyak soal Kerajaan Hujungkulon dan Argabinta, tetapi melihat namanya, kedua kerajaan ini mungkin lokasinya ada di sekitar Ujung Kulon dan Cianjur Selatan.
Semua kerajaan pendahulu Tarumanegara ini tak meninggalkan prasasti, tetapi beberapa artefak-nya ditemukan. Kebudayaan menulis mungkin belum terbiasa saat-saat itu. Pengetahuan tentang keberadaan kerajaan-kerajaan ini berdasarkan cerita babad dan manuskrip para pelancong dari luar, juga dokumen2 Cina yang telah mengenal tulisan jauh lebih awal.
Kerajaan Tarumanegara kemudian menggantikan Jayasinghapura. Rajanya bernama Purnawarman yang naik tahta pada 395 M dan berwilayah di sekitar aliran hilir Citarum sekarang. Dari Tarumanegara inilah mulai ditemukan prasasti-prasasti sisa kekuasaannya. Tapak kaki Purnawarman di prasasti2-nya menunjukkan wilayah kekuasaan Tarumanegara.
Pada saat yang bersamaan dengan Tarumanegara, di wilayah Jakarta sekarang terdapat sebuah kerajaan bernama Aruteun (Holotan). Tahun 430, 433, 434, dan 452 kerajaan ini tercatat mengirimkan utusan ke Kekaisaran Cina dengan maksud meminta bantuan atas gangguan terhadap Aruteun oleh kerajaan tetangganya (Tarumanegara). Apa daya, justru Holotan takluk kepada Tarumanegara pada 452. Kerajaan Tarumanegara sendiri berakhir pada tahun 686 oleh serangan Sriwijaya.
Sebuah petikan penting terdapat di sebuah buku berbahasa Jawa Kuno (“Pustaka Raja Purwa”) (dari Keys, 1999 : Catastrophe : A Quest for the Origins of the Modern Worlds). Pada tahun 416 ”Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada goncangan Bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Lalu datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatra”.
Di tempat lain, seorang bishop Siria, John dari Efesus, menulis sebuah chronicle di antara tahun 535 – 536 AD, “ Ada tanda-tanda dari Matahari, tanda-tanda yang belum pernah dilihat atau dilaporkan sebelumnya. Matahari menjadi gelap, dan kegelapannya berlangsung sampai 18 bulan. Setiap harinya hanya terlihat selama empat jam, itu pun samar-samar. Setiap orang mengatakan bahwa Matahari tak akan pernah mendapatkan terangnya lagi” (Keys, 1999).
Dokumen di Dinasti Cina mencatat : ”suara guntur yang sangat keras terdengar ribuan mil jauhnya ke baratdaya Cina” (Keys, 1999).Bisa dipastikan bahwa tahun-tahun itu telah terjadi sebuah bencana alam yang mungkin berupa letusan Krakatau (purba) yang meletus hebat, katastrofik, menenggelamkan jembatan darat antara Sumatra dan Jawa yang sebelumnya sudah ada dan melahirkan Selat Sunda.
Mau tidak mau, sedikit atau banyak, letusan katastrofik ini telah mempengaruhi peta politik kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Jawa Barat. Kerajaan maritim terkuat di sekitar tahun-tahun ini adalah Sriwijaya. Maka, setelah ini, Sriwijaya yang mengandalkan kekuatan baharinya menjadi makin kuat dengan terbentuknya laut di antara Sumatra dan Jawa, dan kerajaan ini mulai menaklukkan kerajaan-kerajaan Hindu pertama di Jawa, yaitu di wilayah Sunda, Jawa Barat. Kelak, Sriwijaya pun mundur akibat sedimentasi sungai-sungai di wilayah timur Sumatra yang telah mengakibatkan perdagangan menjadi lesu sebab tak befungsinya pelabuhan-pelabuhan akibat sedimentasi.
Adalah karena sedimentasi Sungai Citarum dan Kali Bekasi serta kondisi rawa-rawa yang tak sehat yang telah menyebabkan kerajaan-kerajaan di Jawa Barat pindah ke pedalaman (Sunda, Galuh, Pajajaran), barangkali untuk menghindari efek sedimentai sungai di wilayah hilir.
Pada tahun 670 M, Citarum dijadikan batas dua kerajaan penerus Kerajaan Tarumanagara, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Kerajaan Sunda mempunyai wilayah dari sungai Citarum ke sebelah barat, sedangkan Kerajaan Galuh mempunyai wilayah dari Sungai Citarum ke sebelah timur.Sekali lagi, alam sedikit banyak memainkan peranan penting dalam maju mundurnya kerajaan-kerajaan pada masa silam.
Ditulis oleh: Awang H.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar