Distorsi Sejarah Para Pemegang Hegemoni

Tidak menjadi masalah bagi saya-secara pribadi-, siapa yang lebih layak dibanggakan Dewi Sartika atau Kartini. Namun, saya tidak hanya mewakili sebagai individu, juga memiliki kapasitas sebagai orang Sunda. Dimana, ingatan harus dibongkar dan masa lalu harus dirawat. Sejarah harus dikembalikan kepada posisi yang benar. Ini tentang obyektifitas dan pandangan kita terhadap sering kaburnya terhadap hal sebenarnya, tentu saja mengenai apa yang terjadi.

Ide sama sekali tidak pernah luntur. Namun sejarah bisa mengalami sebuah distorsi. Fakta bisa diciptakan belakangan, dongeng bisa diceritakan, diolah, lantas diakui sebagai sebuah kebenaran ketika telah ada campur tangan dari para penganut subyektifisme. Ide-ide yang keluar karena dilatar belakangi oleh kesamaan latar belakang baik sosial, budaya, dan politik. Inilah yang terjadi dalam sejarah negeri ini. Sejarah dibuat bukan sekedar untuk diketahui oleh generasi mendatang, juga diyakini sebagai nilai sacral terhadap hegemoni sebuah kelompok.

Sama halnya dengan sejarah Emansipasi Wanita. Perdebatan tentang siapa yang lebih pantas menjadi pelopor emansipasi wanita di Indonesia, apakah Dewi Sartika atau Kartini seolah tidak ada habisnya. Karena apa? Sebab, sejarah ditempatkan tidak sesuai dengan apa yang seharusnya, ada sesuatu yang direbut, direnggut, dan harus dikembalikan lagi pada posisinya. Sejarah seolah dibuat atas pesanan. Orang di zaman sekarang tidak akan mengerti dan mengetahui masa lalu, substansi mendasar dan peristiwa apa yang terjadi di 100 tahun lalu. Lantas, ditulislah dengan pandangan ilmiah, namun samar. Antara benar dan salah. Pengaruh hegemoni kekuasaan menjadi pamantik utama dalam proses pembuatan sejarah bangsa ini. Pemilik kepentingan politis bisa berbisik kepada sejarahwan, tentu saja, sejarawan ciptaan mereka, apa yang sebaiknya harus ditulis, apa yang seharusnya dihilangkan.

Jika sejarah dibuat dengan motivasi ketakutan terhadap apa yang ada di luar kekuasaan mereka, maka… sejarah hanya akan berupa tempayang-tempayang berisi rongsokan yang disepuh dengan warna kuning emas. Penggiringan , propaganda dilakukan untuk menempatkan orang agar berada pada masa sekiat ratus tahun lalu. Ditaburi dengan kalimat-kalimat: BANGSA BESAR ADALAH BANGSA YANG MENGHARGAI SEJARAH BANGSANYA!. Apa ada yang salah? Tentu saja tidak, ketika sejarah ditulis dan dibukukan secara obyektif, jauh dari kepentingan politis.

Apa yang terjadi? Propaganda telah berhasil. Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini tentu saja Kartini tidak menginginkan demikia. Karena dirinya ada di masa lalu. Ide-idenya dalam bentuk surat-surat lantas dibubukan pada tahun 1911 memang menyentuh arus kehidupan wanita yang seharusnya. Kartini tidak ingin namanya diperdebatkan dengan Dewi Sartika, karena ini adalah I’tikad. Begitu pun sebaliknya dengan Dewi Sartika, dengan Sakola Kautamaan Istrinya telah membangun sekolah khusus untup perempuan, bukan sebatas pada wacana dan ide-ide cerdas, pun terealisasi dalam bentuk mendidik para perempuan waktu itu. Hari kelahirannya, tanggal 4 Desember jarang disentuh, hampir tidak ada, sebuah Sekolah di Jawa Barat sekalipun, memperingati sebagai hari Pendidikan Perempuan di tanggal tersebut.

Sejarah memang milik para penguasa. Saya yakin itu. Sama halnya dengan: Orang Islam lebih mengenal , hafal cangkem*), bulan-bulan Masehi (bulan kuli), daripada mengenal bulan-bulan hijriyah. Ini memang tidak ada kaitanya dengan distorsi sejarah, namun dengan sebuah hegemoni. Seperti para pemegang kekuasaan yang telah melakukan perombakan besar-besaran terhadap sejarah bangsa ini. Ada yang harus direbut, kembalikan kembali sejarah secara obyektif. Kartini dan Dewi Sartika tidak memesan kepada siapa pun agar nama dan fotonya menempel di dinding kelas, kecuali ditempatkan pada sejarah yang seharusnya.

Dan saya lebih percaya kepada naskah-naskah yang ditulis oleh para Karuhun**), daripada kepada Buku Sejarah Sekolah, setebal apa pun itu. Sebab apa? Bukan hanya karena orang Sunda, lebih dari itu. Karuhun-Karuhun kita hidup dalam keadaan dan zaman yang berbeda dengan kita, di mana, nilai-nilai spiritual tentang kebersihan jiwa masih mengakar. Para Karuhun tidak akan membuat sesuatu tanpa membersihkan jiwanya terlebih dahulu. Terlepas dari kepentingan-kepentingan politis, apalagi individu.

Celaknya, naskah-naskah Kuno karya Karuhun Sunda sama sekali sulit diakses. Tersimpan di Negara nun jauh di sana. Ada rahasia besar dan segalanya tersimpan di masa lalu, dikekang oleh sebuah hegemoni.


*)Cangkem (B.Sunda)= faham benar

**)Karuhun (B.Sunda)= Leluhur
Kang Warsa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar