Van Bemmelen (1949) menarik garis volcano-tectonic yang besar dari Selat Madura sampai hampir pantai selatan Jawa Timur berarah utara-selatan. Menurutnya, inilah sebuah transverse fault yang besar yang memotong tegak lurus trend struktur Jawa yang barat-timur. Transverse fault ini menjadi lokasi semua gunungapi aktif maupun mati di wilayah ini, sehingga lineament gunungapi ini menyimpang dari lineament gunungapi Jawa pada umumnya (barat-timur). Di sini, kompleks Tengger-Semeru berarah utara-selatan. Bahkan, wilayah Grati dan Semokrong di tepi pantai utara eastern spur Jawa Timur ini, atau di sebelah selatan Selat Madura, menurut van Bemmelen (1949) masih merupakan bukit-bukit yang terjadi oleh aktivitas volcano-tectonic akibat runtuhnya kaldera Tengger.
Collapse kaldera di puncak yang menyebabkan gravity sliding di kaki gunungapi membentuk ridges, adalah teori khas van Bemmelen. Ia pun menerangkan asal Gendol highs di Menoreh, Jawa Tengah dengan mekanisme yang sama sebagai akibat gravity sliding oleh runtuhnya kaldera Merapi. Van Bemmelen pun menerangkan asal Antiklinorium Samarinda di Kalimantan Timur sebagai akibat gravity sliding saat Kuching High terangkat -teorinya kemudian dikembangkan oleh Rose dan Hartono (1976) dan Hank Ott (1987). Sebuah teori yang sangat menarik dan saya cukup meyakininya. Kini, di sistem deepwater perkembangan toe thrusting juga erat kaitannya dengan gravity sliding di shelf areanya. Contoh-contoh di Kutei, Tarakan, dan Sarawak deepwater sangat khas membuktikan ini.
Meminjam transverse fault Tengger-Semeru van Bemmelen ini untuk menerangkan terjadinya Depresi Lumajang ke sebelah timurnya, dengan menggunakan juga transverse fault pasangannya di wilayah Jember, yaitu Iyang (Yang)-Argopuro Fault . Kedua transverse fault ini mengapit wilayah Lumajang yang tenggelam, sehingga bisa disimpulkan bahwa kedua transverse fault tersebut merupakan block faulting yang besar dengan block terbannya (downblock) ditempati oleh Depresi Lumajang. Bahwa Lumajang tenggelam bisa dengan segera dilihat apabila kita mengamati garis pantai selatan Lumajang yang terindentasi ke dalam dan Pegunungan Selatannya yang hilang.
Kembali ke Bromo, ia merupakan salah satu gunungapi cinder cone yang muncul dari kaldera lautan pasir Tengger yang terkenal itu. Di kaldera Tengger yang berdiameter 10 km itu muncul beberapa gunungapi kecil. Walaupun kini kita hanya bisa temukan tiga gunungapi di kaldera ini (Batok-Bromo-Kursi yang berjajar utara-selatan mengikuti transverse fault itu), vulkanoloog Belanda Neumann van Padang (1951 – catalogue of the active volcanoes of the world, p. 146-147) menyebutkan bahwa ada tujuh buah pusat letusan di kaldera Tengger ini.
Gunungapi aktif di kaldera Tengger tinggal Bromo saja dengan kepundan ditutupi danau sejak 1838. Menurut Hadian dan Kusumadinata (1979 : Data Dasar Gunungapi Indonesia), undak-undak di Gunung Bromo menunjukkan bahwa pusat letusannya bergerak ke arah utara. Transverse Fault Tengger-Semeru dari van Bemmelen (1949) mungkin ada betulnya sebab semua gunungapi mati dan giat di wilayah ini membentuk kelurusan utara-selatan,mulai dari sebelah utara ke selatan : Gunung Pananjakan, Batok, Bromo, Kursi, Ranu Pani, Ranu Kumbolo (ini bekas-bekas kawah gunungapi) dan paling selatan adalah gunung Semeru -puncak tertinggi di Jawa (3676 m).
by Awang H.S
Tidak ada komentar:
Posting Komentar