Cerita Dibalik Kebangkitan The Third Reich (NAZI)

Bagaimana bisa Jerman yang pasca PD I dilanda depresi hebat, tiba-tiba bisa membangun kekuatan perang sebegitu masif dan hebatnya? Darimana mereka mendapatkan bantuan dan sokongan?






Banyak orang tak habis pikir bagaimana Jerman yang pada tahun 1930-an masih terikat Perjanjian Versailles dan terlilit depresi ekonomi berat, dapat gencar membangun angkatan perang yang begitu besar. Darimana mereka mendapat uang dan bahan mentah untuk menggerakkan industri persenjataannya?



Jawabannya : semua itu bisa terlaksana karena Hitler memiliki sejumlah industrialis setia di sebelah kanan kursi kepemimpinannya. Mereka adalah pendukung Nazi yang selalu siap memenuhi apa yang diinginkan. Dan yang tak kurang penting, mereka berkawan dengan sejumlah pemodal dari luar negeri yang diam-diam berani memutar uang di negeri ini.





Untungnya kala itu di tengah keterpurukannya selepas Perang Dunia I, pamor Jerman sebagai negara industri terkuat di Eropa belum pudar benar. Hal ini menyebabkan tak sedikit investor yang masih mau menanam modal di negeri ini dengan harapan bisa meraup untung dalam beberapa tahun. Arah dan gaya kepemimpinan Hitler memang merupakan permasalahan tersendiri, namun hal ini tak terlampaui menjadi masalah karena uang akan diputar secara terselubung. Para usahawan Jerman itu tahu benar bagaimana melakukannya.




Dalam memoarnya berjudul ”The Secret War Against the Jews” (2003), mantan jaksa penuntut penjahat perang Jerman, John Loftus, menulis secara tajam bahwa kaum kaya Amerika Serikat termasuk diantara para penanam modal itu. Diantara mereka adalah Averell Hariman, George Herbert Walker, Prescott Bush, Allen Dulles dan Rockefeller –orang-orang mapan yang keturunannya hingga sekarang masih memiliki pengaruh kuat di Amerika. Lewat jalur khusus, uang mereka diputar oleh pengusaha Jerman, Fritz Thyssen, yang dikenal sebagai penyokong utama keuangan Nazi.



Buku tersebut ditulis berdasar file-file dari US National Archives yang telah dirahasiakan selama puluhan tahun. Loftus sendiri mengaku harus lebih dulu mengumpulkan keberanian dan bijak dalam menulis. Ia tak ingin senasib dengan sejumlah orang yang dimasa lalu yang pernah berupaya mengonfirmasikan data dan skandal ini akhirnya malah kedapatan meninggal oleh sebab-sebab yang tidak jelas.



KONSPIRASI TINGKAT TINGGI



John Loftus mengatakan, kaum pemodal dan orang kaya AS tersebut tak peduli dengan ideologi atau kejahatan apa yang tengah dikerjakan Hitler. Karena, motivasi mereka hanya satu, yakni ingin melipatgandakan uang di negeri yang memang tengah membutuhkan modal keras untuk memulihkan perekonomiannya.




Ada yang mengatakan Perjanjian Versailles sendiri adalah hasil konspirasi tingkat tinggi untuk menggiring Jerman agar tak kuasa membendung modal keras dari sejumlah negara. Untuk itu perjanjian Versailles harus membuat Jerman bangkrut.



Mereka sendiri sadar bahwa investasi dengan cara seperti ini bisa dijerat UU Trading With the Enemy Act. Untuk itu perjalanan uang haruslah diatur sedemikian rupa. Dijaga orang-orang khusus di Bursa Saham WallStreet, diamankan sejumlah pengacara dan agen intelijen, dan dialirkan melalui bank-bank netral di Eropa. Dengan demikian, tak salah memang jika lalu ada yang mencurigai bahwa sebagian diantara praktik terselubung tersebut diselewengkan pula untuk ”cuci uang”.



Awal dari skandal besar ini kira-kira dimulai pada 1924 dan sempat lepas kendali pada 1942. Praktik investasi tak umum ini bermula dari usaha ekspor mangan, biji besi dan bahan mentah lain dari Rusia ke Jerman yang dikelola bersama oleh W. A Harriman & Company dengan perusahaan milik Thyssen yang sebagian sahamnya dikuasai raja minyak AS, Rockefeller. Usaha ini uniknya sudah atas sepengetahuan Stalin yang secara diam-diam telah menyerahkan kartel milik keluarga Czar Rusia untuk dikelola orang-orang ini.



Stalin tak pernah mempersulit, karena sebagai imbal balik Rusia akan mendapat suplai bahan bakar pesawat terbang yang amat diperlukan. Pendek cerita, kepada Stalin, seluruh bahan mentah itu dikatakan akan digunakan untuk membuat rel kereta api di Amerika. Namun, Harriman-Rockefeller yang populer dijuluki ”The Robber Barrons” tak langsung mengirimnya ke Amerika. Bahan mentah itu diparkir dulu di sebuah tempat pengolahan batubara di Polandia yakni di sebuah kota bernama Oswieczim yang kemudian lebih dikenal sebagai Auschwitz – Nah, ini salah satu bukti kalo sebenarnya Auschwitz itu Working Camp, bukan Genoside Camp !!!




Di fasilitas yang kemudian berdiri kamp konsentrasi itulah mereka membangun pabrik dengan fasilitas teknologi tinggi untuk pengolahan batu-bara menjadi bahan bakar sintetis untuk pesawat terbang Rusia. Pabrik ini dikendalikan oleh perusahaan bernama Brown-Brothers Harriman.



Akan tetapi Stalin tak tahu menahu kalau dari Oswieczim itu pula ada jalur kereta barang Jerman milik Thyssen. Lewat jalur kereta inilah Thyssen diam-diam mengambil adn mengirim sebagian bahan mentah nan langka itu ke dua sahabat sesama kartelnya di Jerman, yakni Flick dan Krupp. Bahan-bahan itu mereka gunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan peluru dan bom yang ironisnya juga dipakai untuk menyerang Rusia dan melawan tentara sekutu.



Harriman dan Rockefeller sendiri tak sepenuhnya memutar uang mereka berdua. Dalam bisnis terselubung ini juga ada uang milik banyak investor AS yang tersalur melalui Union Bank – bank besar milik keluarga George Herbert Walker yang dikendalikan menantu lelakinya, Prescott Bush. Banyak yang tak mengira bahwa dana adri Union Bank pula yang kemudian digunakan untuk mendirikan markas utama Nazi, Braun Haus, di Munich. Uang dikucurkan melalui Dutch Bank.



Selain itu investasi juga mengalir melalui perusahaan milik Allen Dulles, yakni Sullivan & Cromwell. Dulles bukanlah pemain baru, karena berkat jasa perusahaannya lah Rockefeller bisa memborong hampir seluruh saham perusahaan Jerman pasca PD I.




KECUALI TENTARA, SEMUA UNTUNG.



Namun skandal besar ini toh tercium juga oleh Teddy Roosevelt, tokoh kongres yang antimonopoli dan antitrust. Penyelidikan dimulai pada 1934 ketika seorang agen ganda yang juga bekerja untuknya mulai menyodorkan bukti keterlibatan Hamburg-American Line dalam gerakan Nazi. Namun menyelidiki kasus besar seperti ini bukanlah pekerjaan gampang. Orang-orang itu begitu lihai menyembunyikan jejak.



Baru pada 1942, setelah melalui proses investigasi yang berlarut-larut dan amat lama, seluruh aset Union Bank dibekukan Pemerintah AS. Tindakan Pemerintah AS ini benar-benar merupakan pukulan keras bagi para penanam modal. Terlebih karena di Jerman sendiri, Nazi diam-diam membawa kabur seluruh aset Dutch Bank.



Jumlah uang yang tertanam di Jerman cukup besar. Menurut catatan yang dikeluarkan pada 1951, total uang asal AS mencapai tiga triliun dolar AS atau sekitar 30 triliun dolar dalam kurs sekarang. Namun Pemerintah AS akhirnya menyerahkan kembali seluruh aset yang telah diberangus itu. Hmm, aneh………



Pengembalian aset kabarnya berkaitan dengan naiknya salah satu anggota keluarga Bush ke lingkaran pusat di Washington. Dia adalah George H. Bush, seorang penerbang AL AS yang pada 1942 mengukir reputasi dan memberikan jasa yang cukup besar dalam Perang Pasifik. Loftus sendiri tak yakin Bush ikut campur dalam kegiatan bisnis kakeknya, karena secara pribadi putra Prescott Bush ini tak suka dengan gaya bisnis yang dijalankan ayah dan kakeknya.



Entah bagaimana kisahnya, seluruh aset yang digondol Nazi pada tahun 1940-an pun akhirnya bisa kembali secara bertahap ke tangan para pengusaha AS pada tahun 1970-an. Rockefeller, misalnya melalui Chase Manhattan Bank, salah satu perusahaannya, pada 1972 memperoleh 38 persen aset perusahaan Thyssen.




Di Amerika, pamor para pemutar itu masih tetap berjaya dan disegani hingga akhir hayat. Beberapa di antara mereka bahkan sempat mencicipi jabatan strategis di Washington. Allen Dulles, diantaranya sempat menjabat sebagai Direktur CIA. Kepada Dulles inilah Fritz Kolbe, diplomat Jerman semasa Nazi berkuasa, pernah memberikan rencana pembuatan jet tempur Messerchmitt 262.



William Averell Harriman (1891-1986), selanjutnya menjadi diplomat dan politisi dalam Partai Demokrat dan masih terus menjalankan kiprahnya sebagai pengusaha. Putra raja perkeretaapian AS Edward Henry Harriman ini sempat menjadi asisten Menteri Perdagangan semasa pemerintahan Presiden Harry S. Truman.



Berbeda halnya dengan Prescott Sheldon Bush (1895-1972). Kariernya di Washington hanya mentok sebagai senator dari Partai Republik. Namun yang membanggakan, satu dari lima anaknya, yakni George Herbert Bush menjadi Presiden AS. Kebanggaan ini masih diteruskan George W. Bush, cucunya yang masih menjabat sebagai Presiden AS hingga kini. George H. Bush sebelumnya juga pernah menjadi Direktur CIA.



Pada akhirnya seluruh permasalahan itu memang happy ending. Bahkan bagi para orang Jerman yang terlibat sekalipun. Hampir semua kalangan industriawan mencicipi untung dan kemenangan. Keluarga Thyssen dan Krupp hingga kini bahkan masih tercatat sebagai konglomerat terpandang di Eropa. Tak salah memang jik kalau pun yang menderita rugi, itu pastilah hanya Tentara, baik sekutu dan Jerman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar