Ada sahabat baru, sebelum meng-konfirmasi selalu terlebih dahulu mengenal profil dan membaca salah satu tulisannya. Pagi ini Hadasa Zebuda, profilnya menarik, tulisan-tulisannya pun menarik. Terpilih tentang DEMMAK dan parfum Gorilla.
Irian dan Papua adalah Pulau dan Suku yang kami sayangi, kami cintai.
Di tulisan Hadasa Zebuda terpilih tersebut, berjudul — Menukar Papua Barat dengan Botol Kosong Minyak Wangi ? Memberi tanggapan sebagai berikut :
Dik Hadasa Zebuda !
Seluruh Manusia mengimpikan “Kemakmuran” —- dibutuhkan Negarawan Besar dan Cerdas untuk mengelola Indonesia Raya. Negarawan harus menganugrahkan kepada seluruh Rakyat Indonesia dari Merauke sampai ke Sabang —- Kemakmuran !
Kemakmuran hanya bisa tercapai apabila Budaya Korupsi bisa diberantas total !
Biarlah Rakyat Nusantara bersatu — kalau Indonesia terpecah maka terbuka lebar, kawsan ini akan menjadi ajang pertumpahan darah dari tahun ke tahun, dari abad ke abad.
Selamatkan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” !
Bentuk botol Parfum “Gorilla” mengingatkan saya pada parfum favorit yang kini tidak ada di pasaran —- YAKOMO, botolnya biru tua dengan bentuk asimetris, baunya ala Afrika !
Kalau bisa dibeli saya mau mencari Gorilla — Bau Aroma Irian tercinta, Aroma Papua tercinta — hampir 100 tahun yang lalu 2 Generasi di atas saya telah menjadi Orang Kaya-kaya di Papua — Boven Digul !
Di Tanah Merah — ikatan naionalisme Indonesia, Indonesia Raya adalah terbaik untuk Orang Papua, Orang Ambon, Orang Bugis, Orang Dayak, Orang Jawa, Orang Riau atau pun Orang Aceh.
Dari pada ASEAN atau Organisasi kawasan apapun lebih baiklah Bingkai NKRI —- cuma adakah dan bisakah tampil seorang dan sekelompok Negarawan menyelamatkan Indonesia Raya ?
Merdeka dan makmurlah Indonesi-ku.
Salam hangat.
Memang Irian dan Papua sangat dekat secara emosional dengan keluarga besar kami — dari kecil jiwa kepahlawanan, rela berkorban demi Tanah Air telah tertanam di dalam sanubari.
Dua Orang dari keluarga kami — telah menjadi Orang Papua sejak tahun-tahun 1928 di Boven Digul, Tanah Merah.
Mereka para Orang Buangan yang telah menyatu dan berasimilasi secara politis —- Orang Papua, yang dalam pengertian masa itu — Orang Kaya-kaya, telah melakukan pendekatan politis. Senasib sepenanggungan.
Rakyat yang menderita, dan bercita-cita yang sama, Merdeka dalam sebuah Negara Republik — mengenyahkan kaum Kolonialis Belanda.
Orang Kaya-kaya belajar membaca, bercocok tanam, berpolitik — bersama-sama dengan Orang Buangan. Mereka merasa Satu Bangsa Satu Nusa — itulah unsur yang menjadikan Nusantara menjadi gugusan pulau yang menjadi Wilayah Indonesia Raya.
Siapa dua tokoh dalam keluarga yang menanamkan Nasionalisme dan Patriotisme sampai sekarang ?
- Abdul Hamid Lubis, seorang pemuda bujangan yang tidak meneruskan studinya ke Kedokteran — ia mempunyai kesempatan untuk menjadi mahasiswa kedokteran, karena ia cerdas, dan ayahnya adalah Kepala Stasiun Pangkalan Brandan, di Sumatera Timur.
Ia memilih menjadi wartawan, yang gigih mengkritisi Pemerintah Kolonial dan Onderneming yang beroperasi di Sumatera Timur — karena sikap politiknya — ia berkali-kali dipenjarakan di Medan dan Pematang Siantar. Ia bersama antara lain, dengan Adam Malik menjadi aktivis Partai Indonesia.
Ia menjadi salah satu Orang Rantai — orang hukuman Kolonialis Belanda, yang setiap geraknya harus dalam keadaan dirantai tangan dan kakinya, bahkan dirangkai bersama pesakit lainnya — begitulah sekitar tahun 1929-30 dengan dirantai ia dibuang ke Boven Digul, untuk hidup dan membangun Nasionalisme di Tanah Papua.
Abdul Hamid Lubis hidup sebagai Orang Buangan di Papua selama lebih 20 tahun — tahun 1945 setelah Proklamasi kemerdekaan RI, ia dibebaskan oleh tentara Australia, dan kemudian dia bergerilya bersama TRIP Jawa Timur dengan Isman (Jenderal) — bertempur untuk mempertahankan Kemerdekaan RI
- Muhammad Yunus Matondang, pemuda yang telah beristeri dan mempunyai seorang puteri — ia adalah Orang Rantai yang dibuang Belanda ke Papua, Tanah Merah , Boven Digul — di sana ia menjadi Pembina rohani anak-anak dan keluarga Orang Buangan, ia juga berinteraksi dengan Orang Kaya-kaya, penduduk asli Pulau Papua.
Ia tertuduh sebagai anggota kelompok penduduk Sumatera Timur yang selalu menyabot perkebunan dan fasilitas perkebunan tembakau di daerah Langkat.
Ia dikembalikan Pemerintah Kolonial setelah belasan tahun di Tanah Papua — ia kembali ke Stabat, Sumatera Timur, sebagai Guru Mengaji, dan mengurus keluarga serta seorang puterinya — ia meninggal dunia di usia muda, karena sakit Malaria dan Paru-paru yang diidapnya sejak dalam pembuangan.
Setelah Perjuangan Pembebasan Irian Barat dengan Trikora — tidak ada alasan untuk Orang Papua atau Suku manapun memilih jalan lain, selain Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memang kekecewaan dan provokasi bisa mempengaruhi Orang Indonesia yang mana pun di mana pun — Kemiskinan, ketertinggalan, dan ketidak adilan adalah pemicu Orang Indonesia bisa kecewa.
Bung, apakah engkau menyadari itu — Berantaslah Budaya Korupsi yang menjadi radix yang menghancurkan sendi-sendi Bangsa dan Kebangsaan ini.
Selamatkan Indonesia-ku (Salam hangat buat Hadasa Zebuda — dan kawan-kawanku Anak Papua dan Timor Timur yang di tahun-tahun 1996-an bercita-cita membangun Bangsa dan Negara ini, menjadi Bangsa dan Negara yang Maju dan Bermartabat)
“Ipsa multa tuli non leviora fuga, dalam pembuanganku, aku telah menanggung penderitaan yang tidak lebih ringan (Ovid, Trisia 4, 10, 102) — ungkapan yang dipinjam Eduard Douwes Dekker untuk pseudonym “Multatuli”. (Provebia Latina, B,J. Marwoto- H.Witdarmono).
[MWA] (PolhankamNet – 31)
*)Foto ex Internet
!Muhammad Wislan Arif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar