Masjid Angke Tinggalan Orang Tionghoa?

(Pengantar: Tulisan ini aku reka untuk tabloid “Berita Nusantara”, Jakarta, dengan nama pena Liem Moen Wien, M.B.A., saat itu aku gunakan marga ayah angkatku di Sala. Belakangan aku baru tahu, she-ku bukan itu. Oh ya, bentar lagi Festival Kue Bulan.)



MASJID Al-Anwar itulah namanya sekarang. Masjid tersebut terletak di Jalan Tubagus Angke, tepatnya di Gang Masjid, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Kalangan masyarakat setempat mengenalnya dengan nama Masjid Jami’ Angke. Masjid itu tinggalan orang Tionghoa yang hidup di Batavia pada zaman Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kongsi dagang India Timur.


Masjid itu bercorak perpaduan antara unsur Jawa dan Tionghoa, tampak pada pintu masuk dan ujung atap yang mirip klenteng. Masjid itu konon didirikan oleh Gouw Tjay yang masuk Islam pada 1526. Masjid itu tak dapat dipisahkan dari pejuang dan pendiri Jakarta seperti Fatahillah dan Tubagus Angke. Konon, dulu di ambang pintu masuk itu terpampang jelas nama Al-Mubarak.


Sarjana Belanda F. de Haan dalam bukunya, Oud Batavia (1922), mengikuti cara penduduk, juga menyebutnya Masjid Angke. Masjid itu punya nama lain, Masjid Kampung Bali. Nama ini tentu saja sudah terlupakan. Itulah jadinya kalau terlalu sering dipugar. Bahkan, orang Banten yang hidup berdampingan dengan Tionghoa setempat membangunnya lagi pada 1761.



Tak jauh dari masjid itu, dapat dijumpai sejumlah batu nisan dari makam orang Tionghoa Islam, di antaranya nisan makam muslimat yang menurut tulisan yang diukir di atasnya merupakan batu nisan makam Nyonya Tan terlahir Ong. Makam itu juga bercorak Tionghoa.


Wilayah Strategis

Angke yang dikenal pula sebagai Kampung Bebek terletak di wilayah sangat strategis, sehingga menarik pendatang Tionghoa dan menjadi tempat persinggahan mereka. Selain itu, kampung itu pernah dijadikan tempat tinggal budak belian dan tempat pelarian orang Tionghoa.

Nama Angke punya sejarah unik. Pemberontakan Cina pada 1740 terjadi pada masa Gubernur Jenderal Adrian Valkenier (1737-1741). Jumlah imigran Cina yang kian membengkak menimbulkan berbagai ketegangan. Valkenier pusing, sehingga pada musim semi 1740, ia mengimigrasi paksa mereka ke Sri Lanka.


Karena sikap kasar serdadu Belanda, meletus pemberontakan, dengan dampak akhir pembantaian orang Cina. Mayatnya dibuang ke Kali Angke. Dari sinilah, timbul nama Angke! “Ang” berasal dari bahasa Cina yang berarti “merah”, sedangkan “ke” dari kata “bangke” (bangkai). Orang Tionghoa yang lolos bersembunyi di bawah perlindungan orang Banten.



Arsitektur Gado-gado


Bentuk masjid di atas tanah seluas 400 meter persegi itu unik. Gaya arsitekturnya mengingatkan pada corak bangunan Indonesia kuno dan Eropa abad 17-18. Tentu saja, ada pengaruh Cina. Cobalah Anda perhatikan gaya seni hias dan seni ukirnya. Halamannya sempit, dipisahkan dengan tembok dari rumah penduduk. Gapura belah yang terletak di utara masih asli. Pintu masuknya berupa gapura tertutup di selatan.


Menurut hasil penelitian Tjut Nyak Kusmiati, sarjana arkeologi Universitas Indonesia (UI) beberapa tahun silam, gapura yang berbentuk huruf D itu mengingatkan pada gapura bangunan kuno di Banten dan Cirebon. Ada pula hiasan pelipit empat persegi, setengah lingkaran dan mahkota. Hiasan pada dinding gapura merupakan relung semu. Tembok keliling masjid pun berhiaskan pelipit yang sama dengan gapuranya.


Gapura itu mengingatkan pada gapura Candi Bentar di Jawa Timur dan Bali. Bangunan Islam kuno seperti ini antara lain dapat juga dijumpai di Mantingan, makam Sunan Bonang di Tuban, Gapura Wetan di Gresik, dan Kraton Kaibon di Banten. Tentu saja semuanya itu berasal dari zaman peralihan atau era Jawa-Hindu akhir.


Tiga Bagian Unik


Bangunan Masjid Angke seluas 15×15m2 itu memiliki tiga bagian yang unik. Yang pertama bagian kaki berbentuk massif, setinggi 1,1 meter. Bentuk ini mengingatkan pada bangunan sebelum Islam datang ke Indonesia. Ada lima tangga di depan pintu timur, selatan, dan utara.



Bagian kedua ialah badan bangunan. Jendelanya berterali dengan gaya mirip rumah Belanda zaman dulu. Ada empat sokoguru segi empat dengan kayu penyangga berukir kepala ular. Mimbarnya segi empat dan terbuat dari batu bata, yang modelnya mengingatkan pada gaya Eropa dan Moor.

Bagian ketiga atap bertingkat dua dengan lorong yang berterali mirip jendela. Di tingkat dua, muadzin biasa mengumandangkan adzan. Puncak atap berbentuk buah nenas.



Kaligrafi Arab berupa kutipan ayat Al-Qur’an, hadits Nabi Saw., dan kalimat syahadat memenuhi bagian dinding masjid. Bahkan, ada catatan dalam bahasa Arab, yang berarti, “Kalimat ini tertera pada batu tulis sebagai peringatan Masjis Al-Mubarak, hari Kamis, 26 hari bulan Sya’ban, tahun 1174 dari Hijrah Nabi.”



Makam Keluarga Sultan Banten?




Di bagian barat kompleks masjid ini, terdapat makam keluarga Pangeran Hasanuddin, sultan Banten. Ada juga makam lain. Nisannya menunjukkan kekunoannya. Juga maesan dari makam Ja’far. Di sebelah timur, nisannya diletakkan di atas bukit buatan.



Ada nisan berbahasa Arab, “Ini kubur Asy-Syarifah Aminah, putri al-Pangiran as-Sayid Hassan bin ‘Umar al-Habsyi. Pada bagian kakinya, terbaca angka tahun 1277 H.



Ada pula makam bernisan kayu jati, di antara milik Sultan Hamid al-Qadri. Di situ tertulis, “Sanat 1274 Hijrah Nabi Muhammad Saw. pada 29 Zulkaidah malam Sabtu pukul 03.00 kembali ke rahmat Allah ta’ala dari rumah yang rusak ke rumah yang abadi. Umurnya masih 64 tahun 35 hari.”



Pada era perang kemerdekaan, Masjid Angke dijadikan markas pejuang. Di situ, sering diadakan pertemuan rahasia untuk menyusun strategi melawan Belanda. Bahkan, khutbah pun diarahkan untuk mendorong perjuangan mempertahankan kemerdekaan pada kira-kira 1945-1949.



Dari masjid itulah, para ulama menggembleng semangat jihad para pejuang yang disebar ke seluruh Jakarta, terutama Jakarta Barat. Begitu rapi kegiatan itu dilakukan, sehingga Belanda tak mampu menciumnya. Dan: selamatlah Masjid Angke dari penyerbuan oleh Belanda.

Martin Marthawienata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar