Berawal dari kepentingan saya untuk melakukan penelitian tentang Perkawinan bagi Orang Mandar maka tentu pastinya membutuhkan sumber-sumber yang terpercaya. Disamping karena buku-buku tentang suku Mandar yang masih sangat minim juga budayawan yang benar-benar mumpuni tentang Mandar sangat sedikit (yang saya tau).
Berawal dari keingintahuan saya karena satu kejadian lucu di awal tahun 2008. Suatu hari saya iseng memasang status di facebook menggunakan bahasa koneq-koneqe, yang saya tau bahasa koneq-koneqe ya bahasa Mandar jadi yang mengerti atau berkomentar di status saya pasti orang Mandar juga. Ternyata saya salah, yang berkomentar malah memakai bahasa yang saya tau itu bahasa Bugis. Otomatis saya bertanya kepada yang berkomentar kenapa kog Anda mengerti bahasa saya padahal yang saya pake bahasa Mandar. Orang itu menjawab dengan santai, “Lho bahasa yang kamu pake kan bahasa Bugis, makanya aku mengerti.”
Singkat cerita, saya bertemu dengan Alm. Prof. yang ternyata masih kerabat dengan keluarga dari mama saya. Setelah selesai bertanya ini itu tentang Perkawinan Orang Mandar, iseng saya bercerita tentang kasus status saya itu. Jawaban Prof. ternyata sangat membuat saya kaget. Beliau berkata, “Bahasa koneq-koneqe itu bukan bahasa Mandar tapi bahasa Bugis dialek ke tujuh.”
Akhirnya Pak Prof. bercerita bahwa dulu ada kampung yang bernama Cempalagi di Bone, Sulawesi Selatan, yang didiami oleh masyarakat Bugis. Saat itu masih jaman kerajaan, suatu hari terjadi perebutan kekuasaan antara kakak beradik yang ingin menggantikan tahta ayahnya sebagai raja yang telah meninggal. Pemilihan pun dilakukan, namun karena sang kakak mempunyai watak keras, sombong dan serakah maka tidak ada rakyat yang mendukung. Sebaliknya sang adik yang baik hati dan dermawan didukung penuh oleh rakyat di Cempalagi. Sang kakak pun marah karena tidak terima dikalahkan oleh adik kandungnya sendiri. Ia pun berniat membunuh sang adik. Berkat ketulusan sang adik, ia berniat untuk mundur menjadi raja dan menerima kalau kakaknya yang menjadi raja. Namun sang kakak sudah kadung marah, sehingga ia tetap tidak terima keputusan adiknya itu. Akhirnya sang adik dan semua rakyat yang mendukungnya memutuskan untuk kabur dari desa Campalagi menuju daerah yang aman. Sang kakak ternyata tetap mengejar karena dendam terhadap adik dan semua rakyat yang ikut dengan adiknya.Akhirnya sang adik tiba di perbatasan Kerajaan Balanipa (yang saat itu dibatasi oleh jembatan Mapilli) berharap akan mendapat perlindungan dari Raja Balanipa karena ia tau kakaknya tidak mungkin masuk ke kekuasaan kerajaan lain. Dan ternyata sang adik dan pengikutnya disambut baik oleh Raja Balanipa.
Selang beberapa lama Raja Balanipa akhirnya memutuskan untuk memberikan satu wilayahnya kepada sang adik dan pengikutnya asalkan mereka mau tetap tinggal di Balanipa. Sang adik dan pengikutnya setuju dan gembira dengan keputusan Raja Balinpa tersebut. Akhirnya mereka semua tinggal dan menetap di Balanipa dan wilayah itu diberi nama CAMPALAGIAN.
Nah, maka dari itu tidak heran mengapa sekarang masyarakat di desa Campalagian hingga kini menggunakan bahasa koneq-koneqe yang tidak lain adalah bahasa Bugis dialek ke tujuh. Tetapi juga tetap masyarakat Campalagian mengerti bahasa Nasional mereka yaitu bahasa Mandar :) Namun sayang kini yang menggunakan bahasa koneq-koneqe sebagai bahasa sehari-hari tinggal beberapa desa saja, salah satunya adalah Desa Bonde (Kampung Masigi) kampung halaman orang tua saya. Akibatnya bahasa koneq-koneqe kini terancam punah.
Atikah Hudriansyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar