Selain Krakatau, salah satu gunung yang terletak di Indonesia dan letusannya berdampak sampai ke negeri-negeri manca adalah Gunung Tambora. Gunung yang terletak di Pulau Sumbawa ini pernah meletus dengan sangat hebat pada bulan April tahun 1815.
Letusan hebat itu sebenarnya sudah mulai dirasakan gejalanya sejak 3 tahun sebelumnya yaitu tahun 1812 dengan suara gemuruh yang dahsyat dan adanya awan hitam. Letusan dahsyat Gunung Tambora dicatat pada skala 7 Indeks Letusan Gunung Berapi atau Volcano Explosivity Index, yang berarti 4 kali lebih dahsyat daripada letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
Beberapa catatan tentang letusan ini dilaporkan oleh Thomas Stanford Raffles yang menyebutkan kepanikan masyarakat serta tentara di Yogyakarta karena dianggap ada serangan besar. Catatan kondisi paska letusan juga dituliskan oleh Letnan Philips yang disuruh Raffles pergi ke Sumbawa. Smithsonian Institution mencatat beberapa jenis hal yang terjadi saat letusan itu yaitu: Letusan yang sangat hebat, aliran piroklastik, kerusakan besar, kematian, keruntuhan kaldera gunung, dan tsunami, serta pengungsian besar-besaran. Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Sedangkan Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
Pengaruh global yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Tambora yang dikemukakan adalah munculnya kabut kering di pantai timur Amerika Serikat yang ditimbulkan karena kenaikan konsentrasi sulfur pada lapisan stratosfir. Kabut itu menimbulkan pengurangan cahaya matahari dan dampak yang kemerahan di dalam pandangan. Musim panas tahun 1816 menjadi berkurang di negara-negara belahan utara sehingga tahun itu disebut-sebut sebagai tahun tanpa musim panas. Bahkan tahun 1816 disebut sebagai tahun terdingin kedua di belahan bumi utara sejak letusan gunung Huaynaputina di Peru tahun 1600.
Letusan Gunung Tambora disebut-sebut juga sebagai salah satu alasan kekalahan pasukan Napoleon Bonaparte melawan Inggris dan Prusia. Cuaca yang sangat buruk menyebabkan pada tanggal 18 Juni 1815 pasukan Perancis terjebak dan tidak bisa bergerak sehingga terkepung musuh. Demikian teori yang dikemukakan oleh Kenneth Spink seorang pakar geologi.
Lain lagi di Indonesia, letusan Gunung Tambora menurut hikayat tidak luput dari peran seorang bernama Said Ahmad Al Idrus atau dikenal dengan nama lain Sayyid Idrus. Dalam hikayat yang ditulis (ulang) oleh Chambert Loir letusan Gunung Tambora bermula dari kisah Sayyid Idrus yang mengusir seekor anjing milik raja Tambora ketika hendak melakukan ibadah shalat.
Peristiwa itu membuat Raja Tambora marah dan mengatur siasat agar Sayyid Idrus memenuhi undangan makan darinya dengan menu utama daging kambing dan daging anjing. Setelah acara makan selesai, Raja menyelidik alasan Sayyid Idrus tidak menyukai anjing. Dan ketika disebut bahwa daging yang barusan dimakan adalah daging anjing, maka Sayyid Idrus bersikeras bahwa yang dimakannya adalah daging kambing dan meminta raja memuntahkan semua makanan yang telah dimakan.
Dari muntahan Raja Tambora, menjelmalah seekor anjing yang berarti bahwa daging yang dimakan oleh Raja Tambora adalah daging anjing, sedangkan dari muntahan Sayyid Idrus menjelma seekor kambing yang berarti daging yang telah dimakannya hanyalah daging kambing.
Raja Tambora tidak bisa menerima bahwa siasatnya tidak berhasil, sehingga Sayyid Idrus dibawa ke puncak Gunung Tambora untuk dibunuh. Tak mempan diseligi, kepala Sayyid Idrus pun dikepruk batu. Sayyid Idrus pingsan dan dikira mati. Oleh para pelaut Bugis, Sayyid Idrus diselamatkan. Dan dari kapal yang membawanya pergi, Sayyid Idrus mengatakan biarlah Allah yang menghakimi Raja Tambora. Lantas tak lama berselang, dari Bugis dan Mengkasar (Makasar) suara gemuruh dari dalam perut Gunung Tambora pun dapat didengar.
Beberapa waktu lalu di tahun 2010, setelah membaca hikayat Sayyid Idrus, saya sempat membuat beberapa sajak yang saya beri judul “Suatu Ketika di Tambora.” Sajak ini adalah sekumpulan yang terdiri dari 5 judul sajak yaitu: Ziarah Sayyid Idrus, Perjamuan dengan Raja, Di Kepundan Tambora, Antara Tambora - Sodom & Gomora, dan Hujan Abu Sampai Negeri Jauh.
Berikut salah satu sajak tersebut, yaitu “Hujan Abu Sampai Negeri Jauh.”
Hujan Abu sampai Negeri Jauh
Tak perlu lagi kapal untuk berlayar,
tak perlu juga angin membawa kabar,
sebab segala abu yang kuterima
di tanah Bugis dan Mengkasar
telah menjadi berita bahagia bagiku.
Dari Tambora, berulangkali kau serukan
kepulanganmu; lewat kepulan-kepulan itu.
Dan cuaca mengekalkannya,
dan cerita meneguhkannya,
jadi batu, jadi reruntuhan
dan jeritan yang lebih pilu
dari lolong anjing hutan.
Maka aku tak perlu lagi datang
dengan pedang atau senapan,
karena kau sudah lebih dulu menang,
dengan riuh beribu tangisan
yang lebih guruh dari ombak,
yang lebih runtuh dari segala lantak,
karena kematianmu, hancurlah
Tambora, sepenuhnya!
Duhai Sayid Idrus! Sejak itu aku
tak perlu menangis, namun akan terus
kutulis kisahmu yang tragis.
2010
Semoga banyak cerita yang bisa kita nikmati dari Ekspedisi Cincin Api di samping kenyataan bahwa panorama alam dan ekosistem gunung berapi sungguh sangat menarik untuk diperhatikan dan dilestarikan.
Salam!
dedy riyadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar