Menurut sejarah, tanah Palestina sebelumnya disebut sebagai tanah Kanaan. Suku-suku Kanaan menguasai tanah Kanaan lebih dari 1.000 tahun sampai sekitar tahun 1500 SM pada saat suku-suku Yahudi masuk dan tinggal di daerah itu. Suku-suku Yahudi ini nantinya bertikai dengan suku Filistin, yakni suku keturunan yang berasal dari Yunani. Dari kata Filistin inilah kata Palestina diciptakan.
Pada abad ke 7 M, Rasullullah memerintahkan kaum Muslim agar mengusir kaum Yahudi dari Jazirah Arab, kecuali jika kaum Yahudi itu setuju untuk bayar pajak spesial (Jizya) dan hidup di bawah pemerintahan Muslim sebagai warga negara kelas dua (berstatus sebagai dhimmi) di bawah dominasi Muslim. Dengan begitu, masyarakat dhimmi diperkenankan tinggal dan hidup di tempat itu selama mereka terus-menerus membayar Jizya (pajak khusus bagi non-Muslim) kepada penguasa Muslim dan hidup dengan hak-hak yang sangat terbatas. Minoritas Yahudi telah hidup di Palestina selama berabad-abad di bawah status dhimmi.
Kekaisaran Ottoman memperbolehkan kaum Yahudi hidup di daerah Arab selama mereka tetap berstatus sebagai minoritas dhimmi, tunduk di bawah hukum Sharia, dan tetap dikontrol oleh masyarakat mayoritas Muslim.
Sementara itu kaum Yahudi yang hidup di Eropa seringkali menderita penindasan oleh masyarakat Eropa karena mereka dianggap sebagai kaum elit. Pemimpin-pemimpin bisnis Yahudi cenderung memberikan jabatan kepemimpinan diantara orang-orang Yahudi, dan banyak orang Yahudi yang tidak berusaha untuk berbaur secara sosial dengan masyarakat non-Yahudi. Keberhasilan keuangan kaum Yahudi juga menyebabkan mereka punya pengaruh politik. Selain itu, kaum Yahudi percaya bahwa mereka adalah ‘bangsa pilihan’. Hal-hal ini menyebabkan timbulnya sikap anti-Semitisme di Eropa, dan puncaknya adalah Holokaus oleh Nazi Jerman di Perang Dunia II.
Akibat dari penindasan di Eropa ini maka timbulah gerakan Zionisme di tahun 1897. Zionisme intinya adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi dan ini disebut sebagai “Tanah Air Negara Yahudi”.
Kaum Zionis awalnya berurusan dengan masalah politik dan pemeliharaan budaya Yahudi. Kebanyakan pemimpin utama kelompok ini adalah Yahudi sekuler dan bukan Yahudi relijius. Zionisme bertujuan untuk mendirikan Negara Israel, dan mengajak semua Yahudi di dunia untuk tinggal di sana.
Gerakan Zionis terpecah diantara kaum Yahudi; yang di satu pihak menginginkan tanah air yang sekuler dan di lain pihak menginginkan tanah air yang berdasarkan aturan agama.
Inggris dahulu menawarkan Uganda sebagai tempat tinggal bangsa Yahudi. Tapi saat ini banyak kaum Zionis yang menganggap Palestina sebagai negara relijius mereka. Banyak kaum relijius Yahudi yang menganggap sudah kewajiban mereka untuk menguasai tanah mereka, sama seperti yang tertulis di kitab suci mereka ketika kakek moyang mereka menghadapi bangsa Filistin dan Kanaan. Para pemimpin politik sekuler lalu mulai menggunakan pesan2 relijius untuk mensahkan tindakan politik mereka.
Di akhir Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman kalah dan Inggris berkuasa atas tanah Palestina melalui mandat dari PBB. Inggris kemudian terlibat dalam persetujuan-persetujuan yang saling bertentangan yakni dengan orang Yahudi dan orang turunan Arab di wilayah Palestina itu. Tidaklah mungkin bagi Inggris untuk memenuhi perjanjian-perjanjian ini seluruhnya. Tanah Palestina saat itu dihuni oleh sekitar setengah juta orang. Kaum mayoritas adalah para petani dan pekerja Arab yang tinggal di daerah pedesaan.
Begitu gerakan Zionisme berkembang, dengan kekayaan yang mereka miliki orang-orang Yahudi mulai membeli lahan-lahan tanah yang luas dari pemilik tanah Palestina. Masyarakat Yahudi juga mulai meninggalkan Eropa dan bermukim di Palestina, dan ini mengakibatkan timbulnya nasionalisme Arab di seluruh daerah Palestina.
Terjadinya Holokaus di PD II mengakibatkan dorongan internasional yang mendesak untuk membentuk negara Yahudi. Inggris menyerahkan tanggung jawabnya atas Palestina kepada PBB yang saat itu baru saja terbentuk. Dengan pimpinan AS dan Uni Sovyet, resolusi PBB nomer 181 membagi tanah Palestina jadi 3 bagian:
(1) Wilayah yang diberikan kepada mayoritas orang Yahudi, yang selanjutnya disebut negara Israel,
(2) Wilayah yang diberikan kepada mayoritas suku Arab, dan
(3) Wilayah netral di Yerusalem
Resolusi ini diajukan dan disetujui anggota-anggota PBB di tahun 1947, tapi ditolak oleh negara-negara Arab. Para Arab menganggap bahwa pembentukan Negara Israel sangat bertentangan dengan agama mereka, yang jelas-jelas memerintahkan bahwa seluruh Jazirah Arabia harus dan hanya dikuasai oleh Muslim saja. Israel terletak di tanah yang sama dengan Jazirah Arabia. Masyarakat Arab Palestina merasa PBB berpihak pada Zionis Israel.
Setelah negara-negara Arab menolak resolusi PBB, Inggris menolak mendukung berdirinya negara Israel sebab jika Inggris mendukung maka ini akan jadi sumber persengketaan dengan negara-negara Timur Tengah. Inggris tidak mau membantu kaum Yahudi untuk pengalihan kekuasaan kepada Pemerintah Yahudi.
Di tahun 1948, Palestina dihuni orang-orang Yahudi dan orang Palestina yang kebanyakan adalah orang-orang turunan Arab.
Hal ini berubah drastis setelah Israel menjadi negara independen. Israel mengumumkan kedaulatannya di tanggal 14 Mei 1948. Negara-negara Arab seperti Yordania, Mesir, Siria, Lebanon dan Irak serta merta mengumumkan perang terhadap Israel dengan tujuan mengubah isi resolusi PBB, karena mereka tidak sudi membagi tanah Jazirah Arabia dengan kaum Yahudi. Tiada alasan lain serangan mereka selain hal itu, karena sebenarnya negara-negara mereka tidak terpengaruh secara langsung atas berdirinya negara Israel. Dengan mengumumkan slogan “Dorong Yahudi Masuk Laut” (atau maksudnya: Basmi Kaum Yahudi, mereka lalu menyerang. Menurut catatan resmi sensus League of Nations dan Arab, sekitar 539.000 orang Arab meninggalkan Israel atas himbauan pihak tentara Arab. Tentara Arab punya dua alasan dalam mengajak orang Arab ke luar dari Israel:
(1) untuk mengamankan orang-orang Arab dari daerah perang;
(2) mereka mengira jika semua orang Arab ke luar dari Israel, maka ekonomi Israel akan hancur karena sebagian besar pekerja di Israel adalah orang-orang turunan Arab.
Para pengungsi Arab dijanjikan oleh negara-negara Arab yang berperang ini bahwa mereka tidak hanya diperbolehkan kembali ke rumah-rumah mereka setelah Arab menang perang atas Yahudi, tapi juga boleh mengambil alih harta dan tanah yang tadinya dimiliki oleh orang-orang Yahudi.
Hajj Amin al-Husseini (Mufti Yerusalem) memimpin orang-orang Arab melawan Israel. Dia dituduh sebagai Mufti yang bekerja sama dengan Nazi di Nuremberg sebelum dia akhirnya melarikan diri di tahun 1946.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Hajj Amin al-Husseini aktif mendukung tujuan Hitler untuk membasmi Yahudi di PD II. Selama peperangan antar Israel melawan negara-negara Arab, kaum Yahudi yang tinggal di negara-negara Arab seperti Mesir, dilarang meninggalkan negara oleh penguasa-penguasa Arab guna mencegah mereka mendukung Israel.
Waktu itu kaum Yahudi hanya memperoleh senjata dari satu negara saja: Cekoslowakia. Tapi anehnya, bukan hanya mereka mengalahkan semua negara-negara Arab tsb, tapi mereka berhasil merampas tanah Arab dan ini biasa dianggap sebagai konsekuensi kalah perang. Israel bukanlah satu-satunya negara yang mengambil tanah lawan yang kalah perang. Yordania juga mengambil tanah Daerah Barat (West Bank) yang dulu dikenal sebagai tanah Yahudi Yudea dan Samaria, termasuk daerah Yahudi Timur Yerusalem (yang sekarang disebut sebagai daerah Arab Yerusalem), dan Mesir mengambil Jalur Gaza. Kedua negara Mesir dan Yordania membunuh dan mengusir SEMUA orang Yahudi yang hidup di negara-negara mereka saat itu.
Setelah kalahnya negara-negara Arab, sekitar 850.000 orang Yahudi diusir paksa dari negara-negara Arab di mana mereka tinggal selama berabad-abad. Kaum Yahudi ini dipaksa meninggalkan harta benda dan tanah mereka. Akhirnya mereka masuk ke tanah Israel tanpa uang sepeser pun. Para pengungsi Yahudi ini disambut hangat oleh negara baru Israel. Mereka diberi sandang, pangan, dan papan.
Pengungsi Arab yang tadinya meninggalkan Palestina dan lalu tinggal di negara-negara Arab tidak disambut dengan hangat dan hanya ditempatkan di kamp-kamp/barak-barak pengungsi. Badan Pengungsi PBB lalu menyediakan bantuan ketika negara-negara Arab tidak mau atau tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup para pengungsi. Banyak barak-barak pengungsian ini yang lalu berubah jadi tempat latihan terorisme yang diolah oleh negara-negara Arab sendiri.
Siria, misalnya, menyediakan senjata-senjata dan latihan-latihan bagi para pengungsi. Akan tetapi, ketika Israel mengalahkan Arab, negara-negara Arab tidak mau mengakui para pengungsi Palestina sebagai warga negara di negara mereka. Kebanyakan pengungsi Palestina ditelantarkan dan tidak diberi hak-hak warga negara. Ini kemudian jadi masalah permanen Palestina.
Yordania dan Mesir menduduki tanah rampasan mereka selama 19 tahun dan selama masa itu mereka tidak mau menciptakan negara berdaulat untuk orang-orang Arab yang tinggal di daerah itu (sekarang semua orang-orang Arab itu disebut sebagai orang Palestina). Yordania dan Mesir juga tidak berusaha mengajak orang-orang Palestina itu masuk ke negara mereka atau memberi mereka status warga negara Yordania atau Mesir. Kuburan2 orang Yahudi dibongkar dan batu2 nisan mereka digunakan sebagai bahan jalanan dan bahan bangunan. Rumah-rumah dan tanah Yahudi diberikan kepada para pemimpin Arab.
Itulah sekilas latar belakang konflik antara Israel dan negara-negara Arab.
Sinuratjhon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar