Banyak kecaman, hujatan dan stigmatisasi ditujukan kepadanya. Murtad, antek Yahudi, serta tidak sedikit yang mengkafirkannya. Bahkan lembaga yang ia dirikan 11 tahun yang lalu, “Fahmina Institute”, pernah hendak disegel oleh salah satu organisasi kemasyarakatan. Stigmasisasi dan ancaman tersebut muncul sebagai reaksi terhadap pembelaannya kepada perempuan yang dianggap “kebablasan”. Namun ia tidak pernah gentar, “toh hanya Tuhan yang berhak menyesatkan” ungkapnya.
Kyai kelahiran cirebon 9 Mei 1953 ini, kerap menjadi narasumber dalam berbagai pertemuan yang mendialogkan isu keadilan, demokrasi, dan pemberdayaan Perempuan. Bukan hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Misalnya, sebagai pembicara dalam konferensi internasional bertema “Trends in Family Law Reforms in Muslim Countries” di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya, dia diundang ke Dhaka, Banglades, dalam konferensi internasional pula. Ia juga pernah mengisi mata kuliah yang diampu oleh Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, padahal saat itu Nasr Hamid tidak berhalangan. Nasr Hamid hanya ingin melihat pengasuh pesantren Dar al Tauhid Cirebon itu memberi pencerahan kepada mahasiswanya.
Adalah K.H Husein Muhammad, satu-satunya Kyai feminis Indonesia yang tak pernah merasa lelah membela perempuan. Ia berjuang mendongkrak kemapanan pemahaman relasi gender yang telah mapan. Pandangannya banyak berbeda dengan pandangan keagamaan arus utama, terutama ketika membahas fikih mengenai perempuan.
Salah satu fatwanya yang berbeda adalah, ia membolehkan perempuan sebagai Imam Salat yang makmumnya laki-laki. Menurutnya, Imam Salat hendaknya yang pandai membaca Al-qur’an, ahli fiqih, dan yang pandai di antara kamu. Al-qur’an tidak pernah menyebutkan soal laki-laki dan perempuan, justru yang ditekankan sebagai Imam salat adalah kemampuan individu, bukan jenis kelamin.
Satu-satunya hadis yang melarang perempuan sebagai imam adalah “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam Salat bagi laki-laki,”. Dalam riset Husein Muhammad, hadis itu bertumpu pada periwayat bernama Muhammad bin Abdullah al-Adawi. Sosok ini banyak menuai kritik. Imam Bukhari menyebutnya “munkar”. Abu Hatim menyebutnya “syaikh majhul”. Daruquthni menilai hadisnya “matruk”. Ibnu Hibban menyebut hadisnya “tidak boleh dijadikan dasar hukum”.
Menurut Husein, ada hadis sahih yang memperbolehkan perempuan menjadi Imam atas laki-laki, Nabi Muhammad SAW pernah menyuruh Ummu Waraqah mengimami Salat penghuni rumahnya. Hadis itu dipersepsi luas para periwayatnya dipercaya kredibel. Dalam hadis Abu Daud, Imbuh Husein Mhammad, ada penjelasan tambahan: pembaca azannya seorang pria. Ummu Waraqah juga dijelaskan memiliki budak pria. Di rumahnya pun ada kakek-kakek.
Isi hadis itu, menurut Husein, sejalan dengan prinsip Islam yang memberi kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dari sini Husein Muhammad menyimpulkan, tidak ada nash agama yang melarang perempuan jadi imam.
Sejak dahulu, tutur Husein, sudah ada ulama sekaliber Mujtahid Mutlak yang memperbolehkan Imam perempuan. Di antaranya, seorang ahli fiqih Abu Tsaur, Al-Muzani (wafat 878 M) dan Ibnu Jarir al-Thabari (wafat 923 M). Namun, pendapat mereka kurang dikenal hingga saat ini.
Mengapa arus utama ahli fikih melarang? Husein menyimpulkan, karena kondisi masyarakat Arab pada saat itu sangat dominan dengan laki-laki, selain itu perempuan di depan atau di tengah laki-laki, seperti diungkap banyak buku fikih, bisa menggoda pikiran laki-laki. Tapi, bagi Husein, itu cara pandang yang bias laki-laki.
Husein Muhammad adalah satu-satunya Kyai yang concern meneliti Gender. Ia begitu erat dengan khasanah kitab-kitab klasik. Maklum, masa mudanya ia habiskan untuk mendalami kitab kuning. Sejak kecil, ia sudah hidup di lingkungan pesantren. Sembari bersekolah, ia belajar ilmu agama dari orang tua sendiri.
Namun, ia tidak puas hanya belajar di pesantren orangtuanya sendiri. “Belajar ke yang pintar, beguru ke yang pandai”, pepatah itulah yang menyulutkan semangat Husein untuk merantau ke kediri, menimba Ilmu agama di pesantren Lirboyo, Tahun 1969 sampai 1973.
Pada tahun 1973, ia melanjutkan studinya di Perguruan Tinggi Ilmu Al-qur’an (PTIQ) Jakarta. Di sini, ia mendapatkan ilmu-ilmu baru, tentang organisasi, menulis karya ilmiyah, hingga demonstrasi. Pada 1976, ia tercatat sebagai pendiri dan pemimpin redaksi buletin PTIQ, “Fajrul Islam”. Meskipun buletin itu masih menggunakan mesin ketik dan tulisan tangan, namun tidak mengurangi semangatnya berkarya.
Tahun 1980 ia merasa lega, sebab telah berhasil menjadi sarjana jebolan PTIQ. Namun, ayah dari lima anak ini belum merasa puas. “Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi”, pekerjaan yang dilakukan dengan tanggung-tanggung tidak akan mencapai hasil yang baik. Karena tidak mau setengah-setengah, ia pergi ke Mesir. Menyeberang pulau ia jalani, berkelana ke negara lainpun ia sanggupi.
Namun, setelah sampai di Universitas Al-Azhar Mesir, Husein Muhammad dikecewakan dengan Kurikulum yang banyak pengulangan dan menggunakan sistem hafalan. Ia merasa apa yang diajarkan di sana kurang menantang. Semua sudah dipelajarinya di pesantren. Akhirnya ia mengurungkan niat untuk melanjutkan studinya. Selama tiga tahun di Mesir, ia habiskan waktunya di perpustakaan dan mengisi diskusi di Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU) cabang Mesir.
Akhirnya pada tahun 1983, Ia pulang ke Indonesia tanpa gelar dari Universitas al-Azhar. Namun membawa segudang ilmu yang akan digunakan berjuang membela kaum yang didiskriminasikan, yaitu perempuan.
Sebagai bentuk pembelaan terhadap perempuan, pada bulan November 2000, ia mendirikan Fahmina Institute. Lalu pada tangga 3 Juli 2000, bersama Sinta Nuriyah A. Wahid, Mansour Fakih, dan Mohamad Sobari, ia mendirikan Pesantren Pemberdayaan Kaum Perempuan ‘Puan Amal Hayati’. Pada tahun 2000 juga, ia mendirikan RAHIMA Institute, dan pada tahun yang sama pula, ia mendirikan Forum Lintas Iman, tiga tahun kemudian, ia tercatat sebagai Tim Pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on population and Development. lalu pada tahun 2005, ia bergabung sebagai pengurus The Wahid Institute Jakarta. Selain itu ia juga tercatat sebagai angota National Board of International Center for Islam and Pluralisme (ICIP).
Saat ini, selain sibuk sebagai Komisioner pada Komnas Perempuan dan konsultan Yayasan Balqis untuk hak-hak perempuan, kesehariannya ia jalani dengan menulis berbagai buku dan artikle. Bukunya yang sudah terbit adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiyai atas Wacana Agama dan Gender (Lkis, Yogyakarta, 2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiyai Pesantren (LkiS, Yogyakarta, 2005), Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren, (LKiS Yogyakarta ,2005). Ijtiihad Kyai Husein ; upaya membangun keadilan (2011), Mengaji Pluralisme maha guru pencerahan (sedang tahap akhir).
Sedangkan buku yang ia tulis bersama-sama adalah Dawrah Fiqh Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender, (Fahmina Institute, Cirebon, 2006), Fiqh Anti Trafiking, Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam, (Fahmina Institute, Cirebon, 2009), Fiqh Hiv Dan Aids, Pedulikah Kita, (PKBI-Jakarta), Kembang Setaman Perkawinan, (Kompas, Jakarta). Selain buku di atas, artikle Husein muhammad juga tersebar di berbagai media, baik lokal maupun nasional. Ia juga seringkali diminta memberi komentar dan pengantar berbagai buku.
Tak seorangpun meragukan kegigihan perjuangannya dalam membela hak perempuan. Bahkan, Ia tidak segan mengkritik buku ataupun kitab yang dinilai mendiskrimanikan perempuan. Bersama Forum Kajian Kitab Kuning, Selama tiga tahun ia mendikusikan isi dan meneliti kembali kualitas hadis yang terdapat dalam kitab Uqud al Lujain fi Huquq al Zaujain. Walhasil, ia menemukan 33 % hadis Maudhu’, 22 % hadis Dhoif, sisanya ada yang Hasan dan Sahih, namun dari sisi matan masih diperdebatkan. Penelitian itu terbit dengan judul Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al Lujain (LkiS, Yogyakarta, Tahun 2001)
Lengkaplah sudah. K.H. Husein Muhammad mampu membuktikan kepada publik, bahwa ia menjadi tokoh lantaran Keihlasan dan konsistensinya dalam memilih jalan hidup. Ia terus membela perempuan dan tidak pernah beralih ke dunia lain yang mungkin lebih banyak memberikan materi.
Apa yang dimiliki Husein Muhammad semua mendukung citranya bergelut di dunia Gender. Belum nampak sosok yang lain seperti Husein Muhammad yang peduli dengan Gender. Kalaupun ada, mungkin hanya sosok semangatnya saja yang menonjol, tetapi belum tentu dedikasinya. Kalau Husein Muhammad, semua yang ada pada dirinya memang betul-betul medukung untuk membela perempuan.
Sehingga tidak heran jika Moch. Nur Ichwan mensejajarkan Husein Muhammad dengan feminis internasional seperti Qasim Amin, Tahir Haddad di Tunisia, Asghar Ali Angineer di India, dan Nasr Hamid Abu Zayd di Mesir. Tak usah heran pula jika Ulil Abshar Abdalla menjulukinya dengan “Pemulung kebenaran terpinggirkan”.
Meskipun pujian dan cacian mendera, Kyai Husein tetap membela perempuan. Kemanapun pergi, ia tetap sebagai Kyai dan sarjana jebolan PTIQ yang kaya dengan prinsip tawadhu’ serta berakhlak mulia.
Husein menuturkan, bahwa PTIQ telah memberi pengaruh besar pada dirinya. PTIQ ikut terlibat pada proses pencarian karakternya, hingga menjadi seperti saat ini. “Terima kasih PTIQ” imbuhnya. Namun, Husein menyayangkan, PTIQ saat ini belum menghasilkan intelektual yang berkualitas. Banyak sekali alumni yang menjadi politisi, Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun sedikit yang menjadi intelektual produktif.
Jika diibaratkan PTIQ sedang membangun sebuah tembok, maka sudah ada “batu bata” politisi, “batu bata” Imam masjid, hakim MTQ, pengasuh pesantren, birokrat dan akademisi, namun “batu bata” intelektual belum ada, sehingga tembok itu masih berlubang. Itu adalah tugas alumni mendatang, untuk mengisi lubang “batu bata” intelektual yang masih kosong.
Tulisan ini adalah bagian dari buku “PTIQ dan Para Tokohnya”
Moch. Aly Taufiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar