Identitas diri ‘Orok’ Menes

Ungkapan ‘Orok Menes mah suka makan sambel’ mungkin sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Banten. Bahkan ada istilah-istilah lain yang kemudian menjadi sebuah frasa lokal yang menjadi ungkapan sehari-hari masyarakatnya; Semisal kiceup menes dan singset Kananga. Secara bahasa Kiceup Menes memiliki arti kedipan orang Menes. Dari beberapa sumber lisan, istilah tersebut muncul akibat kedipan gadis-gadis menes yang terkenal cantiknya sejak dulu yang membuat pemuda yang melihatnya mabuk kepayang. Sedang Singset Kananga, muncul dari sebuah desa bernama Kananga -secara administratif masuk dalam Kecamatan Menes - mempunyai arti rok yang ditarik ke atas sedikit saat melintasi jalanan becek hingga terlihat putihnya betis gadis Kananga yang memakainya.

‘Orok’ Menes berarti orang Menes atau seseorang yang berasal dari kecamatan Menes, atau bahkan kecamatan lain yang dahulunya masuk dalam Kewedanaan Menes. Walaupun saat di Kecamatan Menes, ‘Orok’ Menes akan mengerucut pada seseorang yang berasal dari sebuah Kampung yang bernama Kampung Menes.

Ungkapan-ungkapan lokal seperti itu memang sangat menarik untuk ditelisik lebih jauh. Tetapi, akar kata ‘Menes’ dan asal-muasal ‘orok’ Menes, seringkali menjadi bagian yang terlupakan untuk dinikmati akar sejarahnya.

Sejarah ‘Menes’

Dari beberapa literature, Terdapat dua peristiwa masa lalu yang mempopulerkan wilayah tersebut menjadi Menes, yang pertama pada tahun 1525/1526 diwilayah tersebut bermukim seorang pedagang rempah-rempah berkebangsaan portugis yang bernama Don Jorge Meneses atau DeMenes. Kemudian yang kedua, kata ‘Menes’ berarti pula tempat atau sebuah pasar untuk bertransaksi hasil perkebunan. Di tempat tersebut terdapat gudang-gudang penampungan rempah-trempah sebelum diangkut ke pelabuhan ekspor. Tempat tersebut di sebut Blok Menes. (Ahmad Hufad dalam bukunya: Identitas Kekerabatan Orang Banten).

Tapi masih dalam buku yang sama, menurut pandangan beberapa tokoh di Menes, bahwa kata Menes bukan kata yang di-adop dari bahasa Portugis, melainkan kata atau bahasa lokal, yakni mones yang berarti aneh atau keanehan. Biasanya kata Mones dirangkai dengan awal ‘ka’ dan akhirna ‘an’ sehingga menjadi kamonesan yang mempunyai arti keanehan, pepandaian, dan keajaiban yang cenderung bermakna khas dan unik. Pendapat tersebut didasarkan dua alasan utama. Pertama karakter orang Menes sangat anti terhadap penjajahan orang Eropa, sehingga sangat kuat kecenderungannya untuk menolak pemakaian unsur bahasa penjajah yang membawa nama identitas komunitasnya. Kedua kuatnya pengaruh ajaran islam terhadap tradisi dan norma hidup dalam masyarakat menes yang mengakar kuat dengan tradisi leluhur, terutama dalam era kesultanan sunda Islam Banten. Sehingga kata Menes diyakini sebagai istilah lokal yang terkait dengan mitos kejayaan leluhurnya yang aneh, ajaib, khas dan unik.

‘Orok’ Menes

Secara garis besar keturunan orang Banten terdiri dari tiga kelompok besar. Yaitu: (1). Garis keturunan Banten darah putih yang tersebar di utara dan selatan; (2). Garis keturunan dari Prabu Brawijaya alias Rd. Alit, yang sebagian besar bermukim di daerah selatan; (3). Garis keturunan percampuran asal Kudus yang bermukim di sepanjang pantai utara antara Karangantu sampai Pontang. (Ahmad Hufad: hal:141)

Kelompok darah putih merupakan trah yang berawal dari perkawinan Ni larasantang (Putri Sribaduga prabu Siliwangi) dengan khalifah dari Arab yang melahirkan maulana mahdum Ibrahim (Syarif Hidayatullah). Syarif Hidayatullah ini kemudian memiliki tiga orang istri, dan memiliki 10 orang keturunan. Dari istri pertama ni Gde Agung Anten (Ni Gde Kawung Anten) inilah lahir Sabakingking atau Hasanudin (sultan pertama di Banten). Kemudian dari istri kedua Putri Bintara lahir Pangeran Muhamad Asih yang kelak menurunkan tiga orang sultan di Cirebon. Sedang dari istri ketiga Ampean, keturunannya yaitu Tubagus Syarif Husen.

Sedangkan keturunan Brawijaya atau Rd. Alit berawal dari Aria Bali, Aria Taba, Dalem Wali Hakim, Tjili Dalem, Kiyai Sarpi’ah, dan Tumenggung Wanasaba. Prabu Brawijaya memiliki 7 orang putra, yaitu: Rd. Gugur, Rd Djarah Panoli, Rd Lembupetang, Rd. Bondan Kadjawan, Rd. Acia Damar, Rd. Tarub, dan Rd. Fatah.

Rd. Jamparing atau Rd. Rangga Wiranegara atau Rd. Entol Rangga Maospati, sebagai moyang yang dibanggakan orang Menes, merupakan keturunan keenam dari Prabu Brawijaya. Ia merupakan keturunan dari Rd. Andang terus ke Pangeran Pantjur, dan Rd. Gugur.

Dari penuturan di atas terlihat jelas bahwa ‘orok’ Menes, adalah sebagai sebuah entitas tersendiri dan tidak bersilsilah sampai ke Sultan Hasanudin. Lalu bagaimana dengan gelar Entol yang tersandang pada beberapa keluarga di Menes, ternyata hal tersebut berkenaan dengan kemonesan (kepandaian dan keanehan) yang diperlihatkan oleh Rd. Jamparing saat berhadapan dengan Sultan Banten. Karena kemonesan-nya itu sultan meberikan gelar Entol di depan namanya.

Penutup

Mempelajari sejarah, silsilah, sistem kekerabatan, ungkapan-ungkapan lokal, dan kearifan lokal lainnya bukan berarti membuat kita semakin mengerucutkan diri pada identitas kesukuan yang berlebihan. Tapi seyogyanya membuat kita lebih memahami norma, sistem nilai, dan budaya yang berlaku dimasyarakat kita, sesuatu yang diperoleh dalam kurun waktu yang sangat panjang sebagai sebuah identitas sosio-kultural.

Akibat arus informasi yang tidak dapat kita bendung lagi membat sistem nilai yang berlaku dimasyarakat dari waktu ke waktu semakin hilang. Setidaknya dengan mempelajari sejarah, akar budaya sendiri, membuat kita tersadar untuk memahami siapa ‘orok’ Menes sesungguhnya? Apakah bayi yang baru lahir yang bisa dihitam putihkan? Ataukah bayi yang memahami dari rahim siapa ia dilahirkan?

Rimba Alangalang

*Alumni IAIN SMH Banten dan Mengelola Kedai Gepeng di Alun-alun Menes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar