PUSLIT ARKENAS/HANDOUT
Tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI melakukan penelitian situs purbakala yang ditemukan di Gua Harimau Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Di tempat ini ditemukan fosil manusia berumur sekitar 3.000 tahun dengan panjang kerangka yang masih utuh sekitar 2 meter. Selain itu juga ditemukan lukisan pada dinding gua yang selama ini belum pernah ditemukan pada berbagai penelitian gua di seluruh Indonesia. Temuan lain di tempat ini berupa peralatan rumah tangga yang terbuat dari batu.
Lebih dari 28 tahun lalu kawasan Desa Padang Bindu dan sekitarnya dilanda bencana hebat. Banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah desa yang ada di bagian hulu tepian Sungai Ogan itu. Tercatat 200 lebih orang tewas terseret air bah. Beberapa di antaranya hilang hingga kini, tidak bisa dilacak di mana kuburnya.
Ratusan rumah panggung yang ada di sana pun ikut disapu arus yang naik dan melimpas desa begitu cepat. Ulak Pandan dan Batanghari—dua desa yang mengapit Padang Bindu, di hilir dan hulunya—tercatat menderita paling parah.
"Waktu itu saya masih kelas II SD. Kami, tujuh bersaudara, hanya dua yang selamat. Lima saudara saya yang lain meninggal, satu di antaranya hilang. Sampai hari ini tidak terberitakan kalau-kalau ada orang yang menemukan mayatnya di daerah hilir sana," tutur Zarkoni (36), penduduk Desa Ulak Pandan.
Padang Bindu dan sekitarnya, yang secara administratif berada di wilayah Kecamatan Semidang Aji, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, memang rawan banjir. Sungai Ogan merupakan daerah limpasan air yang turun dari gugusan perbukitan di lereng timur Pegunungan Bukit Barisan.
Begitu banyak mata air di sana, membentuk sungai-sungai kecil dan semua mengalir dan bermuara ke Sungai Ogan sebagai "induk"-nya. Sungai Ogan sendiri, bersama delapan sungai besar lain yang ada di Sumatera Selatan, pada akhirnya mengalir dan bermuara ke sungai yang lebih besar lagi: Sungai Musi!
Sejak tragedi tahun 1982 itu, peristiwa banjir dalam skala serupa memang tidak pernah terjadi. Akan tetapi, seiring perubahan bentang alam kawasan ini, ketika hutan-hutan di perbukitan terus dibuka untuk perladangan dan wilayah "hutan larangan" sebagai daerah tangkapan hujan di hulunya mulai diincar pemodal besar untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit, ancaman banjir bandang dalam skala yang mungkin lebih besar bukan suatu kemustahilan akan berulang. Lebih-lebih di tengah perubahan iklim global seperti sekarang.
"Takut nian, Pak, kami kalau sampai hutan di hulu sana 'dijual' oleh pemerintah untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Sebab, kabarnya daerah 'hutan larangan' itu sudah akan dibuka, tinggal menunggu waktu," kata salah seorang penduduk Padang Bindu.
Di tengah kekhawatiran sebagian kecil warga yang paham akan risiko banjir bandang yang mungkin suatu saat akan terulang, di tengah kian rusaknya kawasan perbukitan di pinggang timur Pegunungan Bukit Barisan di wilayah ini, sejak 10 tahun terakhir sebuah aktivitas kecil oleh tim penelitian dari Puslitbang Arkenas mencoba mengeksplorasi jejak-jejak hunian prasejarah di daerah mereka.
Hanya beberapa kilometer di seberang desa mereka, dipisah oleh Sungai Ogan yang berair keruh-pekat—tanda di bagian hulu terjadi erosi terus-menerus—terbentang gugusan perbukitan karst yang diselang-selingi tanah datar. Jauh lebih ke belakang, Pegunungan Bukit Barisan menjadi semacam penyekat bagian timur dan barat Pulau Sumatera.
Hasil penelitian awal cukup mencengangkan. Dari kotak-kotak galian di Gua Harimau saja sudah 18 individu manusia prasejarah ras Mongoloid yang berhasil diidentifikasi. Jarak antara satu individu dan individu yang lain sangat dekat. Lokasi kuburan pun menyebar di seluruh kotak yang digali, mengindikasikan Gua Harimau sebagai lokasi penguburan.
Di lokasi galian juga didapati distribusi artefak—berupa alat serpih terbuat dari rijang, obsidian, dan batu gamping kersikan—dalam sebaran yang cukup signifikan. Ini mengindikasikan fungsi gua tak hanya untuk pemakaman, tetapi sekaligus tempat hunian.
Jejak hunian masa lampau itu kini mulai terkuak. Akankah kawasan bersejarah itu rusak akibat keserakahan manusia masa kini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar