Pintu Gerbang Utama Kota Terlarang
Forbidden City, sebetulnya bukanlah benar-benar sebuah kota, melainkan komplek istana yang saking besar dan luasnya hingga tampak seperti sebuah kota kecil. Di sebut sebagai Kota Terlarang karena selama hampir 500 tahun, yakni sejak pemerintahan Dinasti Ming hingga Qing, dua dinasti terakhir di China, komplek istana ini tertutup untuk umum. Hanya kalangan tertentu saja yang diperkenankan memasuki komplek istana.
Sebelumnya saya pernah mendengar, lagi-lagi karena saking luasnya komplek istana ini, sehingga untuk berjalan kaki dari pintu gerbang utama sampai dengan pintu keluar saja membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Belum lama ini, saya berkesempatan untuk mengunjungi komplek Kota Terlarang sekaligus ingin membuktikan pernyataan di atas dan ternyata memang benar. Dengan berjalan kaki dari pintu gerbang selatan hingga gerbang utara, tentu saja dengan sedikit berfoto di sana-sini, saya menghabiskan waktu kira-kira dua setengah jam-an.
Dibangun sejak tahun 1406 hingga tahun 1420, komplek istana yang memiliki total luas mencapai 720.000 m2 ini, keseluruhannya terdiri dari 980 bangunan yang meliputi 8.707 ruangan. Warna merah dan emas serta ukiran khas China mendominasi arsitekural bangunan-bangunan dalam istana. Betul-betul luas dengan bangunan-bangunan utama yang masih kokoh dan megah, serta tata letak ruangan yang begitu detail. Sungguh mahakarya manusia masa lampau yang luarbiasa.
Namun sayang, di balik kesempuranan dan kemegahannya, Kota Terlarang kini tak lebih dari komplek bekas istana, simbol kedigdayan bangsa China di masa lalu. Tak ada lagi ruh-ruh tradisi yang tersisa di sini. Awalnya saya membayangkan, ketika saya memasuki gerbang utama saya akan terlempar ke masa 500-an tahun yang lalu, di mana saya bisa melihat penjaga istana sedang hilir mudik berpatroli; prajurit yang sedang berlatih beladiri atau sekedar merawat senjata-senjata kerajaan; para punggawa yang sedang merawat kuda-kuda ataupun penari-penari istana yang sedang menggelar pertunjukkan seni.
Tapi saya terpaksa harus menelan kekecewanan karena saya tidak menemukan satu pun kegiatan yang berkaitan dengan tradisi dan budaya China sedang berlangsung di komplek istana. Saya lupa bahwa sejak Revolusi 1911 serta keruntuhan Dinasti Qing, disusul dengan berdirinya Republic of China yang kemudian berganti menjadi People’s Republic of China pada tahun 1949, menyusul kemudian Revolusi Kebudayaan yang didengungkan oleh Mao Zedong, Pendiri Partai Komunis China, pada tahun 1966 – 1976 telah benar-benar merombak total wajah serta arah sejarah bangsa China. Bahkan untuk menghargai jasanya, di atas gerbang selatan komplek istana kini terpampang foto sang pemimpin revolusi tersebut yang berukuran super besar.
Mungkin juga ekspektasi saya ketika memasuki komplek istana terlampau besar, mengingat saya lahir dan besar di kota yang juga memiliki warisan budaya yang serupa. Di Yogyakarta juga terdapat komplek istana yang masih terjaga eksistensinya hingga sekarang, tak lain adalah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tidak hanya sekedar sebagai simbol pusat budaya, namun sampai detik ini, kegiatan yang berkaitan dengan pelestarian seni budaya dan tradisi masih terus berlangsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar