Tuanku Imam Bonjol Seorang Salafi?

Di tengah kalangan Salafi, banyak yang meyakini bahwa Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu dai Salafi yang pertama kali muncul di Nusantara. Bersama kaum Padri lainnya, Imam Bonjol berdakwah dan berjuang sampai akhirnya ditumpas oleh pemerintah Hindia Belanda saat itu. Keyakinan yang dimaksud, ternyata, masih berkembang sampai saat ini.

Pada dasarnya, sumber-sumber sejarah yang menjadi rujukan penulisan sejarah perang Padri berasal dari catatan-catatan para pegawai pemerintah kolonial Belanda, baik dari kalangan sipil ataupun dari kalangan militer. Dari sumber-sumber itulah sejarah tentang gerakan kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol, dan Perang Padri direkonstruksi dari dulu sampai sekarang.

Keterangan dari satu sumber dipakai pada sebuah tulisan sejarah untuk kemudian dikutip dan dirujuk oleh tulisan-tulisan sejarah yang lain. Masing-masing tulisan itu memberikan kesan tertentu tentang kaum Padri dan dakwah mereka. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2008, misalnya, karya Merle C. Rifklefs (Jakarta: Serambi, 2008), tertulis pada halaman 311,

“Suatu kelompok yang terdiri atas tiga orang haji, yang kembali ke Minangkabau pada tahun 1803 atau 1804, terilhami oleh penaklukkan Mekkah (pada awal tahun 1803) oleh kaum pembaharu-pemurnian Wahhabi dan, seperti Wahhabi, ingin menggunakan kekerasan untuk memperbarui masyarakat Minangkabau. Gerakan Padri menentang perjudian, sabung ayam, aspek-aspek hukum adat setempat yang didasarkan pada garis ibu (khususnya mengenai warisan), penggunaan candu, minuman keras, tembakau, dan buah pinang, dan juga ketaatan yang umumnya lemah terhadap kewajiban-kewajiban keagamaan Islam yang formal. Akan tetapi, mereka tidak mengikuti semua pemurnian gerakan Wahhabi di Tanah Arab, karena mereka tidak menentang pemujaan terhadap orang-orang suci atau tempat-tempat keramat.”

Sumber Penulisan Sejarah

Salah satu sumber sejarah yang dimaksud dan sering dipakai oleh sejarawan Belanda dan Indonesia dalam menuliskan riwayat hidup Imam Bonjol adalah Naskah Tuanku Imam Bonjol. Naskah ini semacam memoar pribadi Imam Bonjol.

Naskah itu diterbitkan kembali dalam “Inlandsche getugenissen aangaande de Padri-oorlog” yang ditulis Ph.S. van Ronkel di majalah berbahasa Belanda, De Indische Gids, edisi ke-37, tahun 1915. Van Ronkel termasuk orang Belanda yang memiliki perhatian terhadap peristiwa-peristiwa lokal di Nusantara waktu itu.

Dalam salah satu bagian, Naskah Tuanku Imam Bonjol mengungkapkan bahwa Imam Bonjol pada akhirnya merasa bimbang dengan apa yang dibuat gerakan Padri. Ia merasa apa yang dilakukan oleh mereka selama ini tidak senapas dengan Al-Qur’an. Kesangsian itu juga muncul, ketika utusan yang dikirimnya ke Makkah kembali pada 1832 dengan membawa kabar bahwa dinasti pertama Saudi telah ditaklukkan oleh pasukan Muhammad Ali dari Mesir sebagai wakil kesultanan Turki Usmani.

Pada bagian lain naskah tersebut, terdapat sebuah nasehat Imam Bonjol kepada salah seorang putra yang ditunjuk untuk menggantikannya. Mengingat hari-hari itu adalah hari-hari terakhirnya dalam menghadapi Belanda di Sumatera Barat, ia mesti memberikan nasehat. Kepada putra yang dimaksud, ia menasehatkan agar,

“Akui hak para penghulu adat. Taati mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin, setialah pada adat. Dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah.”

Dalam bentuk tercetak yang lain, Naskah Tuanku Imam Bonjol diterbitkan pula dalam De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra yang ditulis kolonel H.J.J.L. de Stuers. Buku ini diterbitkan di Amsterdam, Belanda, pada 1849-1850.

Untaian Biji-Biji Tasbih

De Vestiging en Uitbreiding der Nederlanders ter Westkust van Sumatra tulisan de Stuers termasuk salah satu sumber sejarah tertua tentang gerakan kaum Padri di Sumatera Barat. Sebagai pejabat militer pemerintahan kolonial Belanda waktu itu, de Stuers termasuk salah seorang yang menyaksikan sekaligus menghadapi perlawanan kaum Padri tetapi kemudian mencatat banyak peristiwa waktu itu. Wajar, jika para sejarawan yang ada tidak bisa mengabaikan karya de Stuers ketika hendak meneliti sejarah gerakan Padri.

Dalam karya de Stuers itu, termuat sebuah lukisan potret Imam Bonjol. Di sana, kita akan melihat Imam Bonjol dilukiskan sebagai seorang laki-laki berdahi lebar, berjanggut hitam, berpakaian putih, dan besorban putih. Untuk edisi pembaca Indonesia, lukisan yang dimaksud dimuat kembali pada halaman 211 dalam buku Gejolak Ekonomi Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008). Dalam buku Dobbin ini, di bawah lukisan potret Imam Bonjol tertulis “Seorang Padri yang diperkirakan Imam Bonjol.”

Pada dasarnya, lukisan tersebut tidak jauh berbeda dari lukisan-lukisan potret Imam Bonjol yang dapat kita temui di sekitar kita. Mulai dari poster untuk dinding ruang kelas, gambar-gambar dalam buku sejarah Indonesia sampai pada uang pecahan Rp. 5.000,00, semua gambar potret-diri Imam Bonjol menampilkan resam muka seorang laki-laki paruh baya dengan dahi lebar, memelihara janggut hitam di dagunya dan membebat kepalanya dengan kain putih sebagai sorban.

Yang membedakan lukisan potret dalam buku de Stuers itu dengan lukisan-lukisan potret Imam Bonjol di sekitar kita hanya satu hal. De Stuers memuat lukisan potret Imam Bonjol yang sedang memegang untaian biji tasbih di tangan kiri. Pada lukisan-lukisan potret yang lain, tangan Imam Bonjol sama sekali tidak dilukis lengkap.[]

– Rimbun Natamarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar